Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Beginilah realita seorang pengangguran

Matanya seperempat terbuka, masih kabur untuk melihat apa yang ada didepannya. Silaunya cahaya mentari yang menembus bingkai kaca, memaksa matanya untuk terbuka penuh. Andai saja gordennya tidak dibuka orangtuaku sebelum mereka berangkat kerja, mungkin aku masih bisa tidur berjam-jam lagi, begitu pikir dia pagi ini.

Dia mengambil telepon pintar yang ditaruh tepat disebelah bantal tidurnya, lalu dengan gerakan seminimal mungkin membukanya dengan sensor sidik jari yang katanya berkecepatan 0.02s, menyapu notifikasi, dan melihat jam digital yang ternyata sudah jam 11 pagi.

Manusia ini spesial, sungguh, tidak ada yang salah, ini masih pagi, karena beginilah kehidupan spesial seorang pengangguran.
Dimulai dari bangun tidur, kalau orang normal biasa bangun jam 6, jam 7 atau bahkan jam 4 pagi, manusia spesial nggak bakal mau bangun jam segitu. Bukannya nggak bisa tapi emang buat apa bangun pagi kalo bisa bangun siang. Orang biasa bangun pagi biar bisa berangkat tepat waktu ke suatu tempat, entah buat kerja apa buat sekolah, sedangkan manusia spesial mau bangun pagi atau siang tujuannya sama, buat tidur lagi.


Manusia spesial juga bisa dibilang manusia kere. Mereka nggak kerja, nggak punya penghasilan, nggak bisa beli apa-apa, bahkan cuma sekelas udud aja mereka puasa kalo nggak dikasih uang jajan sama ortu.
Tapi biarpun kere mereka tetep aja usaha buat nyari pacar atau emang udah punya pacar dari sananya. Dan saat momennya telah tiba, yaitu saat dia dikode sama doi buat makan diluar atau jalan jalan, dia jadi mendadak autis, jadi mendadak jago bersilat lidah, pake jurus seribu alasan biar momen itu nggak terlaksana. Lha gimana mau terlaksana, orang dompetnya aja bisa beralih fungsi jadi peci, terus nanti siapa yang bayar, bisa-bisa dicap gembel sama kesayangan kan susah.
Walaupun hidup dia nelangsa begitu, sebenarnya dia sadar, bahwa hidupnya harus berubah. Dia cobalah daftar-daftar via online pertama-tama, nunggu balasan HRD seminggu-dua minggu, sebulan-dua bulan sampai akhirnya nyerah dan kembali menjalani hidup spesialnya yang unreplaceable.
Sebenernya mereka juga pingin coba-coba nyari kerjaan disekitar lokasi homebasenya tapi sayang mereka udah kena penyakit kronis yang sering menyerang manusia spesial. Kalo nggak salah nama virus yang bikin penyakit ini adalah Virus E. Ane-males Dehpanas. Akibatnya, manusia spesial ini tak jarang cuma bisa menghayal kalo mereka udah kerja dan nyari kesibukan lain.
Salah satu kegiatan yang dilakukan manusia spesial untuk menutupi kebobrokan kehidupannya adalah, dengan menjalankan hobinya semasa masih disebut orang biasa, bukan manusia spesial. Dulu, semasa manusia spesial masih sibuk, mereka senang sekali melakukan kegiatan ini. Akan tetapi, karena saat itu dia masih sibuk urusan lain yang lebih penting, alhasil hobinya jadi nganggur. Makanya, mumpung ada waktu yang super lowong begini, mereka manfaatin deh buat meneruskan hobinya yang sempet nganggur itu. Hobinya bisa macem-macem ya, dari main musik, olahraga, baca buku, sampai hate speech di inet dan jadi netizen tukang nyinyir, semuanya oke.
Dia seharian sibuk ngurusi hobinya dirumah dan akhirnya lebih memilih mengurung diri dikamar demi bisa memainkan musik yang oke punya. Padahal manusia spesial sering diajak sama sohib sohibnya buat kongkow gajelas bareng, malah seringnya ditawarin mau ditraktir, tapi manusia spesial menolak dan kekeuh tetep lebih memilih bikin musik yang oke punya dikamar tersayang. Sebenernya itu semua alesan doang, manusia spesial males diajak keluar gara-gara takut dicengin dengan bacotan-bacotan :
“Eh sekarang dah gawe dimana”
“Perusahaan ini buka loker tuh nggak mau nyoba”
“Gimana episode sipongbob yang baru, fresh nggak”
Kecuali manusia spesial yang urat malunya udah putus, easy going, dan enjoy-enjoy aja dengan segala bully-an mulai kelas bulu sampai kelas berat dari sohib sohibnya, dia tetep asyiq-asyiq saja tanpa rasa penyesalan sedikitpun.
Akhirnya malam pun tiba, manusia spesial hendak tidur dengan pulas kembali setelah seharian penuh tidak kemana mana, ngendog dirumah, nunggu kambing bertelur. Tapi dia liat lagi jam digital di telepon pintarnya, masih pagi, masih jam 11.59PM. Bener, nggak salah, masih malam yang pagi. Karena manusia spesial nggak dituntut buat bangun pagi keesokan harinya, manusia spesial lebih memilih tidur lebih malam lagi, kira-kira waktu sepertiga malam demi menikmati kuota malam yang berlimpah dan yang pasti biar besok bisa bangun lebih siang lagi, dan begitu seterusnya.